Orang seagama, filsafatnya bisa saja berbeda. Begitu
sebaliknya, orang yang berbeda agama, bisa saja filsafatnya sama. Namun
kesamaan filosofis itu, biasanya, hanyalah pada garis besar saja. Pada uraian
rinci biasanya terdapat perbedaan yang
menyolok. Perbedaan itu terletak pada tambahan terhadap pandangan pokok yang
berbeda. Itulah kita jumpai pada eksistensialime Islam di abad pertengahan dan
eksistensialisme Barat di awal abad-20. Kedua bentuk eksistensialisme itu
sama-sama mengatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Atau, dengan perkataan
lain, wujud lebih pokok daripada hakekat. Walaupun begitu yang dipersoalkan
berbeda. Eksistensialisme Prancis abad 20 mempersoalkan eksistensi dan esensi
manusia, sedangkan eksistensialisme Iran abad pertengahan mempersoalkan
eksistensi dan esensi realitas secara umum terutama Tuhan.
Eksistensialisme sendiri telah digantikan secarta
berturut-turut oleh strukturalisme dan pasca-strukturalisme.
Pasca-strukturalisme sebagai varian dari filsafat posmodern yang pluralistik,
relativistik dan anarkhis itu telah membuang semua bentuk esensialisme dari
metafisika, bukan sekedar merendahkannya seperti yang dilakukan oleh
eksistensialisme modern. Post-modernisme telah telah membuang semua esensi
sehingga yang tinggal adalah eksistensi-eksistensi yang banyak tang tak lain
dari benda-benda material di luar dan dalam tubuh kita. Tentu saja pandangan
materialisme pasca-modernis itu sangat kontroversial, karena benda-benda itu
tanpa esensinya, yaitu gerak dan interaksi antar sesamanya seperti yang
dipahami oleh sains, tak mungkin melahirkan kehidupan, manusia dan bahkan
pemikir-pemikir posmodernis itu sendiri.
Tampaknya kaum pasca-modernis telah terlena oleh
permainan bit-bit imaji elektronik yang menari-nari di layar kaca dari game
watch anak-anak, di layar videogame Playstation ketika anak lebih
besar, di monitor komputer ketika dia dewasa dan di layar televisi selama
hidupnya sehingga tak sanggup berpikir mendalam dan mendasar terpesona dengan
permainan bahasa dan katakata, melupakan makna hakiki dari apa yang
direpresentasikan oleh kata-kata itu yaitu
benda-benda di luar kita dan pikiran-pikiran dalam diri kita yang
merupakan misteri abadi yang ingin dipecahkan para filosof dari masa ke masa.
Yang manakah dari kedua realitas itu yang fundamental, yang sebenar-benarnya
ada.
Jika kita ditanya “apa yang sebenarnya ada?”, maka
kita pasti tahu bahwa itu pasti pertanyaan filosofis. Apapun jawaban kita, dia
akan mencerminkan keyakinan kita tentang realitas. Maksudnya begini. Realitas
adalah suatu kenyataan yang sebenarnya ada bukan hanya ada dalam khayalan atau
pikiran sesorang.
Nah, kalau kita diperhatikan definisi ini, maka
tampak bahwa kata ‘yang sebenarnya’ merupakan embel-embel filosofis yang jelas
memusingkan seorang awam. Sebaliknya, bagi seseorang yang mempunyai
kecendrungan filosofis, justru akan timbul keresahan jika pertanyaan ini tidak
terjawab. Untuk jelasnya marilah kita ikuti perdebatan filosofis berikut ini.
Jawaban pertama: materialisme ilmiah
Apakah realitas yang sebenarnya ada? Berikut ini
adalah salah satu jawaban ilmiah yang umum. Yang sebenarnya ada adalah
benda-benda. Tetapi para filosof akan terus bertanya, Apa sebenarnya
benda-benda seperti kursi, sepatu, batu, udara dan lain sebagainya itu? Jawaban
ilmiah akan mengatakan bahwa semua benda-benda itu terdiri dari atom-atom yaitu
bagian benda terkecil yang tak dapat dipisahkan lagi.
Jawaban ini mirip dengan jawaban Demokritus di zaman
dahulu kala. Belasan abad setelah Demokritus, nama atom pun diberikan Dalton
pada zat terkecil yang ditemukan oleh para ahli kimia. Namun sejarah sains
menemukan bahwa atomnya Dalton, bukanlah atomos seperti yang dipahami oleh
Demokritus. Jika atomos adalah bagian benda terkecil yang tak mempunyai bagian
lebih kecil lagi, tidak demikianlah atom dalam kimia modern.
Soalnya, di awal abad lalu, para fisikawan menemukan
bahwa setiap atom zat kimia itu terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil
lagi yaitu inti dan elektron. Masih di paruh pertama abad yang lalu para
fisikawan pun menemukan kenyataan bahwa inti atom itu pun terdiri dari dua
jenis partikel atau butiran yang lebih kecil lagi yaitu dua jenis nukleon yaitu
proton dan netron.
Paruh kedua abad 20 yang lalu, para fisikawan
menemukan lebih dari seratus partikel elementer yang setara tapi lebih berat
dari nukleon sehingga orang mulai curiga bahwa partikel elementer bukanlah
bagian terkecil semua benda Memang
begitulah keadaanya ketika ditemukan bahwa proton, netron dan partikel-partikel elementer lainnya yang lebih berat
dari pada itu ternyata terdiri dari partikel-partikel yang lebih kecil lagi
yaitu partikel-partikel quark.
Walaupun begitu, sampai sekarang secara
eksperimental belum pernah ditemukan tanda-tanda tentang adanya subpartikel
yang lebih kecil dari quark, kendati secara matematis subpartikel itu tersebut
sudah patut dapat diduga. Dengan demikian inilah jawaban terakhir para ilmuwan
modern jika ditanya apa yang sebenarnya ada. Tapi marilah kita lihat apakah
jawaban itu memuaskan kaum filosof.
Untuk sebagian orang jawaban itu memang memuaskan,
yaitu bagi kaum materialis. Tapi buat sebagian lagi, yaitu kaum idealis, hal
itu sangat tidak memuaskan. Soalnya, sebagai filsuf sejati mereka terus
bertanya. Apa sebenarnya quark dan lepton itu? Soalnya, mana buktinya bahwa
partikel-partikel itu benar-benar ada. Bukankah kita tak bisa melihatnya.
Bukankah kaum materialis adalah seorang empiris yang mengaku semua pengetahuan
dapat diperoleh hanya melalui indra? “
“Ah, Anda salah mengerti” jawab kaum materialis.
“Kata ‘melalui’ bukan berarti langsung saja, tetapi bisa tidak langsung”,
begitu lanjut mereka. “Eksistensi partikel-partikel fundamental”, kata mereka,
“bukan hanya bisa diduga di dalam pikiran. Dia hanyalah konsep yang ada di
pikiran manusia. Dia adalah konsep yang paling ringkas yang bisa digunakan
untuk mereka-reka semua pengalaman empiris manusia.”
Jawaban kedua: idealisme religius
Begitulah jawab kaum materialis. Maka para filosof
idealispun tersenyum-senyum mendengarkannya. “Wah-wah, bagaimana Anda ini. Jadi
sesuatu yang hanya ada di pikiran manusia merupakan bagian terkecil dari semua
yang ada di alam semesta ini. Kalau begitu, kamilah yang benar. Semua realitas
sebenarnya terdiri dari pikiran atau ide bukan benda-benda. Hidup idealisme.”
Begitulah kira-kira argumentasi mutakhir penganut idealisme.
Maka kita kaum awam yang religiuspun senang atas
kemenangan kaum idealis ini. Soalnya, dengan demikian sederetan realitas
religius, yang hanya bisa diyakini melalui iman dan tak dapat dibuktikan secara
empiris atau ilmiah, sekarang memperoleh legitimasinya. Semua yang ada, ada
dalam pikiran, yaitu “pikiran semesta yang memikirkan dirinya sendiri” seperti
kata Hegel seorang idealime absolut di abad ke-19 yang justru diperkuat oleh
pernyataan Stephen Hawking di abad 20 yang mengatakan hukum-hukum alam tak lain
dari pada pikiran Tuhan[1]
Tentu saja menjadi seorang idealis tak perlu harus
menjadi seorang hegelian dengan logika dialektiknya yang non-ilmiah itu.
Nyatanya, idealisme monistik absolut itu kini ternyata merupakan ideologi yang
populer di kalangan para anti-sains Zaman Baru di dunia Barat yang muncul
semenjak tahun 70-an yang bereksperimen dengan teknik-teknik meditasi untuk
mencapai kebenaran mutlak.
Mereka mencari kebenaran tidak dengan menjelajah
alam luar, tetapi dengan menukik langsung ke alam batin jiwanya. Sebagian dari
mereka merasa memperolehnya, dan merekapun menyampaikan penemuannya sebagai
nabi-nabi baru di akhir zaman. Berbagai agama dan aliran kebatinan baru di
Barat banyak mengklaim hal seperti itu. Mereka menyebut dirinya sebagai bagian
dari gerakan Zaman Baru.
Akan tetapi, mereka ini minoritas di negerinya
sendiri. Sebagian lagi justru bertanya lebih lanjut. “Apa sebenarnya itu
pikiran?”. Pikiran bagi kaum materialis tak lain dari pola-pola dalam otak
manusia. Bukan hanya pada otak manusia tetapi juga di luar otak manusia yaitu
di benda-benda penyimpan informasi seperti misalnya buku-buku, pita kaset audio
dan video, piringan laser, CD danlain sebagainya.
“Wah-wah,” ujar pengikut idealisme, “Banyak sekali
pola yang ada di sana tapi tak semuanya mempunyai makna.” Ah tentu saja hanya
pola yang mempunyai makna. Makna itu diberikan oleh manusia melalui komunikasi
yang juga terpola antar sesama. Jadi pikiran itu tak lain dari “kumpulan pola
bermakna yang saling memaknai”. Pola
bermakna itulah yang disebut “tanda”.
Nah sebagian tanda itu dibuat manusia, sebagian lagi bersifat alamiah.
Sains itu membaca tanda-tanda alamiah.
Para strukturalis menganggap tanda-tanda itu
membentuk struktur-struktur non-material statik yang ada di alam pikitran yang
lepas dari otak-otak manusia dan media informasi di luar otak manusia.
Sedangkan kaum pasca-strukturalis justru melihat proses tanda menandai itu tak
dapat dilepaskan dari otak manusia dan media teknologi yang ada sebagai
peroanjangannya dan kedua yang disebut terakhir ini tak lain dari materi.
Tanda-tanda itu bukan statis tetapi dinamis yang terus berkembang dengan
evolusi perkembangan materi.
Jawaban Sintesis: Proses Kreatif
Dengan demikian, marilah kita simak lebih jauh,
tibalah kita pada suatu pandangan berputar yang mengatakan bahwa Realitas pada
hakekatnya adalah materi yang terdiri tanda-tanda yang ada pada materi. Atau
bisa juga kita katakan bahwa realitas adalah proses tanda-menanda yang bermain
di atas kumpulan tanda-tanda. Lebih pendek, lagi realitas adalah proses yang
menafsir-dirinya sendiri. Atau, dengan perkataan lain, realitas adalah proses
interpretasi diri
Kreasi dan kognisi, alias cipta dan cita, tak lain
dari pada dua modus yang berbeda dari interpretasi. Yang satu disebut kreasi,
yang lain disebut refleksi. Jika penekanannya pada proses menulis, yaitu
melahirkan tanda-tanda, maka proses itu mengarang diri atau kreasi diri. Jika
proses itu bersifat memasukkan tanda-tanda, maka proses itu adalah proses
membaca dan memahami bersifat refleksif. Proses selalu mempunyai dua sisi:
menulis dan membaca; kreatif dan kognitif; berbuat dan mengetahui.
Dengan demikian kita
tibalah kita pada filsafat proses. Filsafat proses non-dialektik modern, yang dikembangkan oleh Alfred North
Whitehead[2]
di awal abad ke-20, mempunyai jawaban mengenai apa itu realitas. Realitas itu
bukan benda-benda ataupun pikiran yang abadi. Realitas adalah proses yang
terdiri dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang bersifat sementara. Rekannya di
Prancis, Henry Bergson[3],
berpendapat bahwa hakekat proses itu adalah evolusi kreatif yang digerakkan
oleh semangat hidup atau elan vital.
Jadi, menurut filsafat
proses yang benar-benar ada adalah peristiwa-peristiwa dan hakekat proses itu
adalah kreativitas. Tampaknya, dengan ini, semua terjelaskan dan bisa memuaskan
semua orang. Yang ideal dan yang material tak lain dari aspek-aspek saja dari
setiap proses. Bagi orang yang beragama jika proses itu adalah semesta maka
keseluruhan hukum-hukum alam merupakan aspek ideal bagi alam semesta. Dan ini,
menurut ilmuwan atheis Stephen Hawking, dapat diibaratkan sebagai pikiran
Tuhan.
Bagi yang atheis kedua
aspek itu ada bagaikan Yin dan Yang dalam Taoisme. Itulah sebabnya pada
dasawarsa-dasawarsa terakhir ini buku-buku dengan judul “The Tao of …”
berlimpah setelah diterbitkannya “The Tao of Physics”[4]
, karangan Fritjof Capra, laku keras. Dengan pandangan ini maka pasangan Tuhan
dan Alam adalah pasangan aspek Realitas yang dinamis kreatif. Dan inilah ajaran
oleh mistikus-mistikus agama Zaman Baru yang mendapat angin dengan buku Fritjof
Capra, Gary Zukav dan lain-lainnya.
Pandangan yang mirip
wahdatul wujud ini mendapat legitimasinya dalam arsitektur komputer alias mesin
komputasi elektronik yang mulai mendominasi dunia di dasawarsa-dasawarsa akhir
abad yang baru silam. Setiap komputer terdiri dari piranti lunak, alias software,
berupa program dan piranti keras, alias hardware, berupa rangkaian elektronik
yang semakin lama semakin kompleks, kecil
dan canggih. Maka, orang pun mengidentifikasi alam sebagai komputer dan
hukum-hukum alam sebagai program komputer semesta.
Jika alam itu sebuah
komputer, maka bagian terkecil alam semesta yaitu partikel-partikel fundamental
dapat dianggap sebagi prosesor. Teori kuantum mengatakan sebuah partikel juga
merupakan gelombang materi yang mengikuti persamaan matematis yang disebut
persamaan gelombang Schrodinger. Bagi sejumlah pemikir filosofis kuantum,
fungsi gelombang yang memenuhi persamaan tersebut diidentikkan dengan
modul-modul program bagi prosesor partikel.
Sebenarnya, secara
teoritis, bukan hanya partikel yang mempunyai persamaan gelombang. Atom,
molekul, batu, bumi dan benda-benda besar lainnya pun, termasuk makhluk hidup,
juga mempunyai persamaan gelombang. Oleh karena itu tak mengherankan jika
sejumlah penganut agama Zaman Baru mengidentifikasi ruh manusia dengan fungsi
gelombang kuantumnya. Soalnya seperti halnya ruh manusia yang bebas
mengendalikan tubuhnya, begitu juga fungsi gelombang suatu sistem dianggap
mengendalikan perilaku sistem tersebut.
Hal ini tentu sangat
menggelikan buat kaum materialis. Soalnya buat mereka, fungsi gelombang dalam
fisika kuantum hanyalah merupakan peralatan matematis untuk menghitung peluang
keadaan suatu sistem. Jadi sebagai perangkat matematis, fungsi gelombang itu
hanya ada di pikiran manusia. Artinya begini. Konsep fungsi gelombang dan konsep-konsep
abstrak lainnya tak lain dari pola-pola keadaan otak manusia. Dengan
sendirinya, bagi kaum materialis, pikiran manusia tak lain dari sifat-sifat
dari proses dan keadaan yang dimiliki oleh otak manusia sebagai sistem materi
biologis yang sangat kompleks.
Jadi bagi kaum materialis,
yang benar-benar ada adalah materi dan pikiran, jiwa dan lain sebagainya yang
nonmaterial tak lain dari karakteristik yang dimiliki oleh sistem-sistem
material. Maksudnya pikiran itu tak lain dari pada pola-pola dalam proses
elektrokimiawi di otak. Sebaliknya, kaum idealis menganggap yang benar-menar
ada adalah pikiran dan keseluruhan ide-ide yang ada di dalamnya, sedangkan
sistem-sistem material seperti partikel elementer tak lain tak bukan adalah
konstruksi pikiran manusia. Dua-duanya
menganggap bahwa salah satu, materi atau ide, benar-benar “Ada” sedangkan yang
lain “ada” relatif terhadapnya. Tetapi
apa sebenarnya “Ada” itu?
APAKAH “ADA” ITU SEBENARNYA?
Bagi banyak orang
pengertian “ADA” adalah sesuatu konsep yang paling abstrak yang tak perlu
didefinisikan atau dijelaskan dengan konsep-konsep lain. Justru konsep-konsep
lain memerlukan konsep “ada” untuk jika ingin dijelaskan melaui definisi.
Karena itu setiap definisi ada akan merupakan definisi melingkar yang menggunakan
kata itu sendiri. Misalya ada orang yang mendefinisikan ADA sebagai “sesuatu
yang dimiliki oleh semua benda yang ada”
Oleh karena itu ada dua
ekstrim yang menanggapi kebuntuan logika ini. Satu cara menganggap bahwa ADA
tidak bisa didefinisikan atau ditangkap pikiran akan tetapi hanya bisa langsung
ditangkap oleh intuisi intelektual. Hal ini barangkali dapat masuk akal orang
kebanyakan, tetapi pakah ADAnya Tuhan juga demikian? Tentu ada orang
berpendapat “ADA”nya sesuatu yang mutlak tak sama dengan “ada”nya sesuatu yang
relatif. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan Mulla Shadra yang
berpendapat ADA itu tunggal dan semua untuk semua benda, baik yang konkret
maupun yang abstrak. Walaupun begitu “ADA”-Nya Tuhan adalah ADA murni,
sedangkan “ada” nya yang lain bercampur dengan esensi
Dengan posisi seperti ini,
dia pun menyelesaikan banyak persoalan. Yang pertama adalah persoalan
pembuktian adanya Tuhan. Karena Tuhan adalah ADA murni, maka mengatakan “Tuhan
itu tidak ada” adalah suatu kemustahilan. Soalnya jika Tuhan tidak ada, itu
berarti bahwa “ADA itu tidak ada”. Bukankah itu suatu kemustahilan. Oleh karena
itu Tuhan itu tidak bisa tidak harus ada alias wajibul wujud. Karena “Ada itu
tidak ada” adalah suatu yang kontradiksi, maka pernyataan kebalikannyalah yang
benar.
Bagi sebagian orang
pembuktian ontologis seperti ini mungkin merupakan suatu yang menggelikan,
karena hal ini sama saja upaya untuk membuktikan bahwa “ADA itu ada” yaitu sesuatu yang tak perlu dibuktikan. Dan
ini bersumber pada kebiasaan kebahasaan khas para filosof, yaitu menganggap
kata sifat sebagai kata benda. “ADA” yang merupakan subyek itu adalah kata
benda dan “ada” yang merupakan adalah kata sifat. Bahkan Immanuel Kant memberi
tahu kita bahwa “ada” itu pun bukan kata sifat, tetapi kata keadaan yang
menerangkan kata sifat.
Namun buat pengikut Mulla
Shadra, pembuktian ini merupakan argumentasi terunggul karena tak memerlukan
yang lain selain DiriNya sendiri. Pembuktian-pembuktian eksistensi Tuhan yang
lain memulai argumennya dari sesuatu yang bukan Tuhan yaitu alam. Keunggulan
lain dari identifikasi Tuhan sebagai ADA murni adalah terselesaikannya
persoalan Dzat dan Sifat yang menghantui para ahli ilmu kalam.
Pada awalnya, ketika ulama
Mu’tazilah, yang merupakan pelopor ilmu kalam, membuktikan keesaan Tuhan dan
keadilanNya dengan menggunakan logika
Yunani sebenarnya mereka menjalankan suatu tuntutan da’wah untuk melawan da’wah
pendeta Nasrani yang menggunakannya terlebih dahulu. Salah satu konsep yang
diperlukan untuk itu adalah wujud alias ADA dan menjadikannya sebagai sifat
Tuhan yang paling pokok.
Kata Wujud itu sendiri
sebenarnya tak ada dalam Quran. Walaupun begitu, kata ini nyatanya diterapkan
oleh para ulama ilmu kalam pada Allah swt sebagai salah satu SifatNya, bahkan
sebagai Sifat pertama. Tak mengherankan jika konsep wujud ini dalam kaitannya
dengan Tuhan menimbulkan sejumlah kontoversi di dunia pemikiran Islam. Di dunia
keilmuan Kalam, diperdebatkan apakah sifat mempunyai wujud atau tidak.
Dikalangan tasawuf, diperdebatkan
mengenai wihdatul wujud ataupun wihdatul syuhud. Di kalangan
filsafat diperdebatkan prioritas wujud dan mahiyah.
Persoalan dasarnya adalah
kenyataan bahwa Quran dalam merujuk Tuhan, menggunakan berbagai nama yang
berbeda yang bersesuaian dengan Sifat-sifatNya. Pertanyaan timbul apakah sifat
itu ada secara independen, ataukah hanya berada di dalam pikiran manusia? Kalau
sifat itu menyangkut benda-benda konkret yang bisa dilihat dan dipegang, maka
sifat-sifat itu ada yang independen artinya lepas dari benda itu, ada pula yang
tak dapat dilepaskan dari benda tersebut. Sifat-sifat pertama disebut
sifat-sifat aksidental, sedangkan sifat-sifat jenis kedua disebut sebagai sifat
esensial (hakiki) atau esensi alias hakekat.
Dari pengalaman sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subyek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagi substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diriNya. Begitu pula Sifat–sifat Tuhan lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?
Jawaban
Mu’tazilah
Bagi kaum Mu’tazilah
sebagian dari sifat-sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ilm dan
lain sebagainya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau
tidak. Jawab yang umum, tentulah: ya, sifat-sifat itu abadi. Nah, kalau
sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak. Tentu saja
jawabnya: sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu
akan disebut dalam firman-firmanNya.
Disinilah kaum Mu’tazilah
berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, maka dengan sendirinya Tuhan
mempunyai sekutu alias syir’k. Tentu saja ini bertentangan dengan sifat Tuhan
yang paling pokok yaitu keesaanNya.
Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat
itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh Tuhan untuk
menjelaskan pada manusia. Metoda penelitian kaum Mu’tazilah adalah penggunaan
Manthiq (Logika) untuk menafsirkan ayat-ayat Quran suci. Dari penalaran seperti
itu mereka hanya mengenal dua realitas, Yang Mutlak dan yang nisbi, dengan
jurang tak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan iman yang rasional.
Jawaban
Hikmatul Masya’iyyah
Kaum filosof Masya’iyyah,
seperti Ibn Sina, punya pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi
logika Yunani. Tuhan itu ada dan Sifat-SifatNya juga ada. Hanya saja keberadaan
Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan Sifat-Sifat Tuhan. Dzat atau substansi,
Keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan Sifat-Sifat
tuhan, termasuk esensiNya bersifat sekunder. Tak terbayangkan yang kedua tanpa
yang pertama. Sebaliknya tidak demikian. Jadi, Eksistensi Ilahi mendahului
EsensiNya. Dalam bahasa ilmu Kalam, Dzat mendahului Sifat. Dzat dan Sifat,
sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab
Peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya
dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda
dengan ontologi Kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang
Nisbi, para filosof mengakui adanya
perjenjangan diskrit antara keduanya seperti kaum neoplatonis
Jawaban
Hikmatul Wahdatiyah
Akan tetapi para ahli sufi
aliran wujudiyah, misalnya Ibn Arabi, yang berlawanan dengan pandangan para
filosof. Katanya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-benda lain tak punya
wujud apa lagi sifat-sifatnya. Sedangkan Sifat-Sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan
tsabitah (realitas-realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam
pengetahuanNya.
Sebenarnya, a’yan tsabitah
itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan muslim dan non muslim.
Kaum mutakalimun menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum
falasifah menyebutnya sebagai mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau
esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya,
Plato, menyebutnya eidos (ide-ide).
Bagi Ibn Arabi, apa yang
kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari bayangan
realitas-realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan Wihdatul Wujud alias
kesatuan Realitas. Dalam pandangan ini Wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat
atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunakan rasio atau aql, sebagai
gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas
sebagai sumber utama pengetahuannya di samping. Dari pengalaman mistik mereka, mereka meyimpulkan adanya jenjang
realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.
Jawaban
Hikamatul Isyraqiyah
Seorang sufi lainnya dari
Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibn
Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan yang sama sekali lain.
Katanya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang
benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tak lain dari pada
bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya
yang tak lain dari pada Tuhan. Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi
berbeda-beda itu hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam
pandangan metafisika cahaya Persi ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-sifat
atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih
fundamental atau mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan
filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri
mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulannya melalui suatu penelitian filosofis
yang menggabungkan metoda intuitif mistikus dengan metoda rasional filosofis
sebagai pelengkapnya.
Jawaban
Sintesa: Hikmatul Muta’aliyah
Pandangan Suhrawardi itu
menjadi dominan di kalangan filsuf Persia di masa kejayaan Daulah Shafawiyah di
Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Begitulah Mula Shadra
diajarkan oleh gurunya: Mir Damad. Akan tetapi dia juga sangat mengagumi
pandangan Ibn Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu dia membalik ajaran
Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi
atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, namun dia menolak pandangan Ibn Arabi
tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Sadra benda-benda sekitar kita di alam
bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, namun juga ada seperti adanya Tuhan.
Sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali.
Esensi adalah kebalikan dari eksistensi.
Jika Tuhan adalah Ada dan
benda-benda juga ada, maka tak dapat secara logika dihindarkanlah kesimpulan
bahwa segala benda-benda adalah Tuhan atau pantheisme seperti yang dituduhkan
secara salah oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla
Sadra dalam hal ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud
yang mengatakan bahwa Eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu
seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi.
Jadi, menurut Mulla
Shadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tak
terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang
dari kutub Tiada ke kutub ADA mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi
Mulla Shadra yang disebutnya sebagai Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan
ini merupakan sintesa besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan
filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.
Secara tabular kita dapat
melukiskan pokok-pokok pikiran
tradisional Islam sebagai berikut
|
Kalam |
Hikmat |
Hikmat |
Irfan |
Hikmat |
Eksistensi |
riil |
riil |
mental |
riil |
riil |
Esensi |
riil |
riil |
riil |
mental |
mental |
Hubungan |
eksistensi mendahului esensi |
eksistensi |
esensi |
eksistensi |
eksistensi |
Struktur Realitas |
Polaritas mutlak/nisbi |
jenjang eksistensi |
gradasi esensi |
jenjang |
gradasi eksistensi |
Metoda keilmuan |
Rasio |
Rasio |
Rasio, |
Intuisi, |
Rasio, |
Satu hal yang menarik pada
pandangan Mulla Shadra ini adalah pandangannya tentang gerak substantif atau harakatul
jawhariyah yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud pada
benda-benda di alam semesta. Berbeda dengan pemikiran filosofis sebelumnya,
yang menganggap spesies sebagai suatu yang tetap, dalam pandangan Mulla Shadra
batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan seterusnya yang
sekarang dikenal sebagai pandangan evolusionisme.
Namun, berbeda dengan
evolusionisme materialistik biologi modern, gerak evolusioner Mulla Shadra
bukanlah perubahan-perubahan material bersifat acak yang diseleksi alam seperti
pandangan Darwinisme, namun merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud
yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi atau Tuhan Pencipta Semesta.
Dalam bahasa filosofis kontemporer, dapat dikatakan bahwa pandangan evolusionis
Shadra sebagai pandangan teleologis yang mengikuti asas finalisme.
Dalam
hal ini, Mulla Shadra telah memberikan landasan filosofis yang kokoh bagi
evolusionisme spiritualistik Jalaluddin Rumi. Kompleksitas wawasan
“evolusionisme spiritualistik” Mulla Sadra dapat dibaca dalam buku yang Anda
pegang ini. Pertanyaannya kini: Apakah pandangan evolusionisme spiritualistik
ini konsisten dengan pandangan keilmuan sekarang. Untuk menjawab pertanyaan
ini, hendaknya diingat bahwa evolusionisme spiritualistik adalah suatu
pandangan falsafi yang bersifat umum yang meliputi seluruh semesta sedangkan
pandangan evolusionisme materialistik hanya mencakup dunia kehidupan atau dunia
biologis.
Pandangan
evolusionisme yang bersifat universal di dunia modern dipelopori oleh aliran
vitalisme[5]
buah pikiran Henry Bergson filsof Prancis yang hidup di awal abad 20. Berbeda
dengan darwinisme, evolusionisme Bergson melihat dinamika kehidupan pada elan
vital atau ruh kehidupan yang kreatif tersimpan dalam esensi setiap materi.
Pandangan filosofis ini sangat populer di kalangan seniman dan agamawan di awal
abad 20, sebelum esensi digusur oleh kaum eksitensialis di pertengahan abad dan
digusur keluar wacana filosofis oleh para pemikir pos-strukturalis. Sedangkan
darwinisme ilmiah atau neo-darwinisme tetap mendominasi intelektualitas para
ilmuwan, bahkan akhir-akhir ini diperluas untuk ranah sosial dan kultural oleh
Richard Dawkin[6] dengan
konsep meme sebagai padanan bagi gene dalam ranah biologi.
Akan
tetapi, akhir-akhir ini pandangan evolusionisme neodarwinisme materialistik
telah dikembangkan menjadi pandangan yang lebih holistik meliputi seluruh
sejarah seluruh jagatraya. Salah seorang pemikir Inggris wanita, Donah Zohar[7]
yang juga seorang murid fisikawan filsuf holisme terkemuka David Bohm, punya
wawasan yang disebutnya holisme relasional. Dalam holisme kuantum versi Donah
Zohar, evolusi biologis hanyalah merupakan satu fase saja dalam evolusi semesta
raya yang bermula pada riak kecil pada kehampaan kuantum dan berakhir pada
kehampaan kuantum yang sama. Karena itu dia mengidentifikasi kehampaan kuantum
itu dengan Sunyata di agama Budha dan Tuhan pada agama-agama monotheistik.
Metafisika
kuantum Zohar ini sebenarnya lebih mirip dengan mistisisme panteistik, karena
vakum atau kehampaan kuantum itu ada di mana-mana meliputi seluruh alam
semesta. Pandangan yang lebih monotheistik adalah Omega Point Theory[8]
buah pikiran pakar kosmologi matematis Frank Tippler tentang adanya titik
singularitas kosmologis di masa depan yang disebut titik Omega yang tak pernah
dicapai oleh alam. Titik omega yang ada di masa depan yang tak terhingga ini
merupakan limit penciutan alam semesta setelah pada suatu saat nanti, di masa
depan jang jauh, akan berbalik dari pengembangannya yang sekarang.
Uniknya,
Titik Omega ini diidentifikasi Frank Tipler sebagai Tuhan Maha-Pencipta alam
semesta, karena dia mempunyai sejumlah karakteristikNya yang fundamental. Titik
Omega itu “tunggal”, “transenden”, “pencipta” alam semesta, “menguasai” semua
dan “mengetahui” segalanya. Lalu, alam yang di”cipta” oleh Titik Omega itu
mengikuti prinsip antropik kosmologi. Prinsip antropik mengatakan bahwa
konstanta-konstanta fisika fundamental di awal kejadian alam terpilih
sedemikian rupa sehingga akan timbul kehidupan yang cerdas di salah satu
planet, yaitu bumi. Tipler berspekulasi bahwa kehidupan cerdas itu kemudian
akan terus menyebar ke seluruh penjuru alam.
Penyebaran
kehidupan dan kecerdasan inipun berlangsung terus, bahkan pada masa kontraksi
sehingga pada akhirnya alam dapat dikatakan menjadi semacam komputer biologis
yang sangat-teramat kecil, akan tetapi teramat-sangat canggih. Yang menarik
adalah pernyataan Frank Tippler bahwa alam akhirat itu identik dengan realitas
virtual dalam super-komputer biokosmik tersebut. Lebih menarik lagi adalah
kenyataan bahwa Mulla Shadra juga mengatakan bahwa hakekat alam akhirat adalah alamul
mitsal.
Sementara
itu fungsi gelombang kuantum jagatraya, yang dapat dianggap metaprogram bagi
superkomputer biokosmos tersebut di atas, diidentifikasikan oleh Tipler sebagai
Ruh Kudus di kalangan Kristen atau ‘Aqlul Awwal di kalangan filsuf
muslim tradisional. Bagi kalangan tasawuf Akal Pertama itu disebut Nur
Muhammad atau Haqiqat Muhammadiyah, sedangkan bagi Mulla Shadra,
Akal Pertama itu tak lain dari Ilmu Tuhan tentang DiriNya sendiri. Eidos
Plato atau morphe Aristoteles tak lain dari kandungan dalam Ilmu Tuhan
sebagai salah satu SifatNya.
Yang
menarik pula ialah kenyataan bahwa dalam metafisika kuantum kontemporer,
benda-benda terkecil yaitu partikel-partikel fundamental dan gaya-gaya
fundamental yang bekerja antara mereka juga mempunyai sifat gelombang yang
dapat dianggap sebagai riak-riak kecil di lautan kehampaan kuantum yang terus
membesar menjadi ombak dan gelombang yang kita kenal sebagai alam semesta
tempat kita semua berada.
Bagi
sebagian dari metafisikawan itu riak-riak terkecil kuantum itu pada dasarnya
tak lain dari bit-bit informasi dalam komputer semesta yang terus berkembang
menjadi cerdas melalui proses yang disebutkan Tipler di atas. Bit-bit itu,
serupa dengan esensi-esensi dalam metafisika Shadrianisme, tidaklah mempunyai
eksistensi. Sedangkan konsep vakum kuantum mereka, mirip dengan prima materia
yang diyakini kaum perenialis. Dalam bahasa metafisika Shadra, prima materia
adalah bayang-bayang Ketunggalan Wujud Murni pada Ketiadaan Mutlak.
Satu
hal yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Mulla Sadra dan
pemikir-pemikir klasik lainnya bertolak dari refleksi murni logis terhadap
pengalaman-pengalaman langsung indrawi dan intuisi intelektual. Sedangkan apa
yang dilakukan filsuf evolusionisme modern adalah spekulasi filosofis terhadap
pengamatan empris operasional ilmiah. Para shadrianis meyakini pandangan mereka
sebagai puncak kebenaran filosofis, sedangkan para filsuf evolusionisme
kontemporer menganggap pandangannya masih terbuka untuk disempurnakan dengan
ditemukannya penemuan-penemuan ilmiah yang lebih mutakhir.
Tampaknya, pandangan Mulla
Sadra sebagai varian dari filsafat perennial dapat digunakan sebagai penangkal
nihilisme posmodern yang bukan saja meniadakan esensi tetapi juga meniadakan
eksistensi melalui proses dekonstruksi destruktifnya. Pandangan Mulla Shadra
justru serasi dengan pandangan holisme, kutub lain dari intelektualisme posmodern. Akan tetapi identifikasi Realitas
dengan Kesadaran, dalam wacana holitik posmodern, lebih cocok dengan
perennialisme dengan varian Suhrawardianisme di kalangan Islam dan Vedanta di
kalangan Hinduisme. Varian Shadrianisme dengan pasangan Ada/Tiada ini lebih
mirip dengan varian Taoisme Cina yang dipandang orientalis Jepang Isutzu
sebagai padanan bagi Wihdatul Wujudnya Ibn Arabi.
Seorang mistikus tentunya
akan melihat varian-varian intelektual perennialisme sebagai
pandangan-pandangan tentang gajah yang dilihat oleh simelek dari sudut yang
berbeda-beda. Bagaimanapun berbedanya, pandangan-pandangan ini lebih utuh dari
bayangan gajah oleh empat orang buta seperti yang dikisahkan Jalaluddin Rumi
dalam Matsnawi-nya yang terkenal itu. Yang perlu digaris bawahi ialah kenyataan
bahwa orang-orang buta dalam kisah Rumi itu sebenarnya tak lain dari
ilmuwan-ilmuwan yang melihat segala sesuatu secara empiris positivistik. Dan
orang melek itu tak lain dari simbolisme filsuf yang melihat realitas lebih
logis komprehensif. Namun, tak ada yang mengetahui gajah kecuali gajah itu
sendiri dan ini tak lain dari simbolisasi Realitas Mutlak yang identik dengan
Kesadaran Semesta dalam wacana agama-agama pasca-modernis Zaman Baru.
Mudah-mudahan, pengantar
ini menjadi jembatan antara pikiran pasca-modernis yang pluralistik masyarakat
kontemporer dengan pikiran tradisionalis yang monistik seperti yang direpresentasikan
oleh pikiran filsuf Islam terbesar di kalangan Syi’ah yang dipaparkan oleh
Fazlur Rahman secara kritis. Walaupun kritik-kritiknya terasa agak asing,
karena kecenderungan modernistik almarhum Fazlur Rahman, beliau berhasil
menunjukkan dengan adil keluasan dan kedalaman wawasan Shadrianisme, yang
merupakan filsafat tinggi akademisi Iran Syi’ah, kepada kalangan Sunni tanpa
memberikan sikap a priori yang bersumber pada perbedaan keyakinan teologis yang
fundamental. Semoga buku ini menjadi jembatan menuju upaya pemahaman kembali
khazanah wawasan monistik tradisional Islam yang lebih menyeluruh terutama
sumbangan pemikiran ulama-ulama Nusantara di masa silam. Amin ya Rabbal alamin.
Bandung, 1 Nopember 2000
Armahedi Mahzar
[1] Stephen Hawking, dalam bukunya A Brief History of Time (Bantam, London & New York 1988), menuliskan kalimat terakhirnya “If we find the anwer to that, it would be the ultimate triumph of human reason --- for then we would truly know the mind of God”
[2] Alfred North Witehead, matematikawan Inggris penulis buku Process and Reality, berbicara eternal objects yaitu universal essences yang terus menerus menyelusup dan keluar apa yang disebutnya masyarakat organisme yang terdiri dari kejadian-kejadian aktual alias particular existents. Dia adalah penerus evolusionisme Bergson dengan cara menyempurnakannya dengan memasukkan penemuan-penemuan fisika baru : teori relativitas dan teori kuantum
[3] Henry Bergson, Creative Evolution
[4] Fritjof
Capra, The Tao of Physics (Bantam Books, NewYork 1980)
[5] Henry Bergson, penulis Creative Evolution, mengajukan wawasan evolusionisme anti-darwinian yang bersifat vitalistik bukan mekanistik. Rekan senegaranya Pierre Teilhard deChardin juga mengembangkan wawasan evolusionisme antidarwinian yang finalistik, bukan mekanistik maupun vitalistik.
[6] Richard Dawkin, Selfless Gene,
[7] Danah Zohar menulis tiga buku berkaitan dengan metafisika kuantum ini yaitu Quantum Self (Flamingo, London1991 ), Quantum Society (bersama suaminya Ian Marshall diterbitkan oleh Flamingo, London 1994 ) dan Connecting with our Spiritual Intelligence (bersama suaminya diterbitkan Bloomsbury, NewYork 2000).
[8] Frank Tipler, penulis Physics of Immortality (Doubleday, New York 1994), adalah salah seorang pencetus Prinsip Antropik dalam kosmologi untuk menerangkan besaran-besaran fisika di awal jagatraya melalui eksistensi kehidupan manusia di bumi masa kini.